Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.
Dinamika Hukum Islam, dari Mazhab Hingga Ratio Legis Imam Malik.
Selasa, 22 Juli 2025 07:59 WIB
Penerapan ratio legis (illat) dalam metodologi hukum Imam Malik menunjukkan karakteristik yang sangat pragmatis dan kontekstual.
Hukum Islam sebagai sistem hukum yang dinamis telah mengalami perkembangan metodologis yang sangat signifikan sepanjang sejarah peradaban Islam. Dinamika ini tidak terlepas dari upaya para ulama dalam merespons berbagai problematika sosial, kultural, dan geografis yang dihadapi umat Islam di berbagai belahan dunia.
Salah satu manifestasi paling konkret dari dinamika tersebut adalah lahirnya berbagai mazhab fiqh yang masing-masing memiliki karakteristik metodologis yang unik dalam pendekatan hukum Islam. Di antara para imam mazhab, Imam Malik ibn Anas memiliki keunikan tersendiri dalam penerapan ratio legis (illat) yang sangat mempertimbangkan konteks sosial-geografis masyarakat Madinah sebagai basis argumentasi hukumnya.
Terminologi dan Etimologi
Secara etimologis, kata "mazhab" (مذهب) berasal dari akar kata bahasa Arab "zahaba-yazhabu-zahaban" (ذهب - يذهب - ذهابا) yang bermakna "pergi" atau "menuju ke suatu tempat". Dari akar kata ini kemudian terbentuk kata "mazhab" dengan pola "maf'al" yang menunjukkan tempat atau arah tujuan perjalanan (Wehr, 1994). Secara terminologis, mazhab dalam konteks hukum Islam didefinisikan sebagai "suatu metodologi atau pendekatan khas yang diadopsi oleh seorang mujtahid dalam melakukan istinbath hukum dari sumber-sumber syariat" (al-Zuhayli, 2006).
Ibn Taymiyyah memperluas definisi ini dengan menyatakan bahwa mazhab merupakan "kecenderungan intelektual seorang mujtahid dalam memahami dan mengaplikasikan nash-nash syariat berdasarkan latar belakang sosio-kultural dan geografis tempat ia hidup" (Ibn Taymiyyah, 1995).
Kontekstualitas Geografis dalam Pembentukan Mazhab Malik
Imam Malik ibn Anas (93-179 H/711-795 M) hidup dan berkembang di Madinah al-Munawwarah, kota yang memiliki signifikansi historis sangat tinggi dalam sejarah Islam sebagai tempat hijrah Nabi Muhammad SAW dan pusat pemerintahan Islam awal. Konteks geografis dan historis ini memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap metodologi hukum yang dikembangkan Imam Malik.
Berbeda dengan imam-imam mazhab lainnya yang lebih menekankan pada aspek tekstual atau rasional murni, Imam Malik mengembangkan konsep "'amal ahl al-Madinah" (tradisi penduduk Madinah) sebagai salah satu sumber hukum yang otoritatif (Dutton, 1999). Konsep ini didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat Madinah merupakan pewaris langsung tradisi Nabi yang telah terinternalisasi dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka.
Ratio Legis dalam Metodologi Imam Malik
Penerapan ratio legis (illat) dalam metodologi hukum Imam Malik menunjukkan karakteristik yang sangat pragmatis dan kontekstual. Berbeda dengan pendekatan formalistik yang hanya melihat aspek literal dari nash, Imam Malik mengembangkan pemahaman illat yang sangat mempertimbangkan aspek sosiologis dan antropologis masyarakat. Hal ini terlihat jelas dalam pandangannya mengenai masalah sentuhan dengan lawan jenis yang tidak membatalkan wudhu.
Dalam kasus ini, Imam Malik tidak menjadikan sentuhan fisik semata sebagai illat pembatal wudhu, melainkan mengidentifikasi illat sesungguhnya adalah adanya unsur syahwat atau nafsu yang menyertai sentuhan tersebut (al-Zarqani, 2003). Pendekatan ini mencerminkan sensitivitas Imam Malik terhadap realitas sosial masyarakat Madinah yang memiliki dinamika interaksi gender yang relatif terbuka dalam konteks kehidupan sehari-hari, seperti dalam aktivitas perdagangan, pendidikan, dan ibadah.
Implementasi Kontekstual dalam Responsi Hukum
Metodologi Imam Malik dalam mengimplementasikan ratio legis menunjukkan fleksibilitas yang tinggi dalam merespons berbagai problematika hukum yang muncul di masyarakat. Konsep "al-mashalih al-mursalah" (kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash) yang dikembangkan oleh Imam Malik merupakan refleksi dari pendekatannya yang sangat mempertimbangkan aspek sosiologis dalam penetapan hukum (Kamali, 1991).
Dalam konteks sentuhan dengan lawan jenis, Imam Malik melihat bahwa kemaslahatan masyarakat Madinah yang memiliki tradisi interaksi sosial yang dinamis perlu diakomodasi tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariat. Oleh karena itu, illat pembatal wudhu tidak diletakkan pada aspek sentuhan fisik semata, melainkan pada ada atau tidaknya unsur yang dapat membangkitkan syahwat.
Signifikansi Metodologis untuk Pengembangan Hukum Islam Kontemporer
Pendekatan metodologis Imam Malik dalam penerapan ratio legis memiliki relevansi yang sangat tinggi untuk pengembangan hukum Islam kontemporer. Dalam era globalisasi dimana umat Islam hidup dalam konteks sosial-geografis yang sangat beragam, metodologi yang dikembangkan Imam Malik memberikan kerangka pemikiran yang sangat berharga untuk melakukan kontekstualisasi hukum Islam tanpa kehilangan substansi dasarnya.
Kemampuan Imam Malik dalam mengidentifikasi illat yang tepat dengan mempertimbangkan aspek sosiologis menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki fleksibilitas yang cukup untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi zaman dan tempat (Hallaq, 2009). Hal ini sangat penting dalam konteks pengembangan fiqh kontemporer yang dihadapkan pada berbagai tantangan modernitas yang memerlukan responsi hukum yang adaptif namun tetap otentik.
Dinamika Hukum Islam.
Dinamika hukum Islam yang tercermin dalam metodologi mazhab, khususnya dalam pendekatan ratio legis Imam Malik, menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki karakteristik yang sangat dinamis dan adaptif terhadap berbagai kondisi sosial-geografis. Konsep mazhab sebagai "kecenderungan dalam implementasi nilai hukum berdasarkan tingkat problematika kondisi sosial dan geografisnya" terbukti dalam metodologi Imam Malik yang sangat mempertimbangkan konteks lokal masyarakat Madinah dalam penetapan hukum.
Penerapan ratio legis yang tidak formalistik namun tetap substansial dalam kasus sentuhan dengan lawan jenis merupakan contoh konkret bagaimana hukum Islam dapat memberikan solusi yang realistis tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariat. Metodologi ini memberikan inspirasi yang sangat berharga untuk pengembangan hukum Islam kontemporer yang dihadapkan pada tantangan modernitas yang semakin kompleks.
Referensi
al-Zarqani, Muhammad Abd al-Baqi. (2003). Sharh al-Zarqani ala Muwatta al-Imam Malik. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
al-Zuhayli, Wahbah. (2006). Usul al-Fiqh al-Islami. Damascus: Dar al-Fikr.
Dutton, Yasin. (1999). The Origins of Islamic Law: The Qur'an, the Muwatta and Madinan Amal. London: Curzon Press.
Hallaq, Wael B. (2009). An Introduction to Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press.
Ibn Taymiyyah, Ahmad. (1995). Majmu Fatawa Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah. Riyadh: Dar Alam al-Kutub.
Kamali, Mohammad Hashim. (1991). Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society.
Wehr, Hans. (1994). A Dictionary of Modern Written Arabic. Ithaca: Spoken Language Services.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Parau
Senin, 1 September 2025 14:51 WIB
Mahmudat Ikhwanat Dipanggil Hamidah, Sebuah Anekdot Linguistik
Senin, 1 September 2025 14:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler